Minggu, 07 Desember 2014

Resume Buku PENDIDIKAN KARAKTER Membangun Delapan Karakter Emas Menuju Indonesia Bermartabat

Buku: Pendidikan Karakter
Penulis: Bagus Mustakim

PENDIDIKAN KARAKTER
Membangun Delapan Karakter Emas Menuju Indonesia Bermartabat

BAB I
PENDIDIKAN KARAKTER ATAU PENDIDIKAN BERKARAKTER?
Booming istilah pendidikan karakter juga merambah pada wilayah kegiatn seperti seminar, pelatiha, ataupun workshop. Kegiatan ini diiringi dengan berkembangnya wacana pengembangan kurikulum sekolah berbasis pendidikan karakter yang diimplementasikan melalui kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Munculnya pendidikan karakter sebagai wacana pendidikan nasional cenderung menegasikan karakter bangsa. Maraknya perilaku anarkis, tawuran antarwarga, penyalahgunaan narkoba, pergaulan bebas, korupsi, kriminalitas, kerusakan lingkungan dan berbagai tindakan patologi social lainnya menunjukkan indikasi adanya masalah akut dalam membangun karakter bangsa. Akan tetapi adanya kecenderungan menganggap pendidikan karakter sebagai solusi bagi penyimpangan karakter bangsa sepertinya agak berlebihan.
Pendidikan nasional telah memuat vivi pendidikan karakter, sementara karakter yang terbentuk justru bertentangan dengan tujuan pendidikan yang ingin diraih, berarti masalah dalam praktik pendidikan nasional. Dengan demikian yang diperlukan adalah revitalisasi pendidikan karakter di sekolah. Ragam pendidikan karakter dalam sejarah sekolah, dapat digunakan untuk memetakan berbagai model pendidikan karakter.

BAB II
TINJAUAN HISTORIS PENDIDIKAN KARAKTER

     A.  Sejarah Sekolah
1.    Sekolah di Era Klasik (Sebelum Masehi sampai Awal Masehi)
a.    Sekolah-sekolah pada awal sejarah cina
b.   Sekolah-sekolah di Yunani kuno
c.   Sekolah-sekolah pada komunitas Yahudi dan Kristen
2.    Sekolah Pada Abad Pertengahan (Awal Masehi sampai Abad ke-14 M)
a.    Sekolah-sekolah di Cina
b.   Sekolah-sekolah di Barat
c.   Sekolah-sekolah di dunia Islam
3.    Sekolah Pada Masa Renaisans Eropa (Abad ke-14 sampai Abad ke-18)
4.    Sekolah Modern (Abad ke-18 sampai Awal Abad ke-20)
5.    Sekolah Kontemporer (Abad ke-20 sampai Abad ke-21)

          B.   Sejarah Pendidikan Karakter
1.    Karakter Intelektual
Karakter intelektual mulai tumbuh di era klasik. Di Yunani kuno karakter manusia intelektual dikembangkan berdasarkan pendekatan filsafat yang ditandai dengan muncul idealisme dan realisme. System filsafat idealisme mengajarkan bahwa realitas tertinggi merupakan ide, dementara benda-benda riil hanyalah bayangan dari ide. Alam ide telah mengetahui pengetahuan yang lengkap. Adapun system filsafat realisme mengarajkan bahwa benda adalah riil. Konsep realisme tentang realitas dipengaruhi oleh filsafat materialisme dan idealisme yang sudah berkembang lebih dahulu.
2.    Karakter Teologis
Karakter teologis lahir pada peradaban agama. Di Eropa peradaban agama ditandai dengan dominasi kekuasaan gereja yang dogmatis dan doktriner. Semua pengetahuan didasarkan wahyu. Wahyu adalah sumber kebenaran mutlak. Segala kebenaran diukur dari kesesuaian antara pengetahuan yang dimiliki oleh manusia dengan informasi yang diwahyukan dalam kitab suci. Karakter manusia yang diidealkan pada peradaban abad pertengahan adalah manusia yang hidup nilai-nilai ketuhanan. Nilai-nilai ini dirumuskan oleh para agamawan berdasarkan wahyu dari Tuhan yang menjadi ukuran kualitas kemanusiaan. Manusia dinilai dari kepatuhan dan ketaatan dari doktriner dan dogmatis agama.
3.    Karakter Humanis
Karakter humanis muncul pada pertengahan abad ke-14 yang ditandai dengan tumbuhnya gerakan keagamaan dan kemasyarakatan yang melahirkan era renaisans Eropa. Masa renaisans Eropa ditandai dengan munculnya humanisme sebagai suatu gerakan intelektual. Renaisans dan humanisme menghadirkan karakter manusia baru yang pernah tumbuh dan berkembang di era klasik, yakni manusia intelektual. Penilaian manusia tidak lagi diukkur dari kepatuhan terhadap doktrin agama melainkan dari kemampuannya memahami realitas disekitar dirinya secara objektif dan ilmiah. Manusia intelektual terlahir kembali menggantikan manusia agama. Pada masa berikunya intelektualitas ini menjadi pondasi dasar masyarakat modern dan kontemporer.
4.    Karakter Modernis
Modernisme memandang bahwa pengetahuan didasarkan pada fakta-fakta yang dapat dijadikan objek. Fakta itu berupa gejala atau fenomena yang tunduk pda hokum alamiah yang tetap. Narasi-narasi besar pada era modern berasal dari berbagai pandangan yang berkembang pada masa itu. Setiap narasi ini membentuk karakter positif, karakter kapitalis, karakter materialis, dan karakter komunis. Meskipun demikian inti dari karakter yang terbentuk dalam modernism adalah manusia yang memahami realitas secara rasional dan saintifik. Rasional artinya menjadikan kekuatan rasio sebagai kekuatan tunggal yang menentukan. Sedangkan saintifik berarti menggangap adanya suatu kebenaran esensial dan universal berdasarkan metode ilmiah.
5.    Karakter Postmodernis
Menurut postmodernisme, realitas bukan merupakan suatu kesatuan tunggal, melainkan terbagi ke dalam fragmen-fragmen. Postmodernisme tidak melihat ada satu di antara ragam perbedaan itu yang dapat dijadikan model untuk yang lain. Setiap fragmen memiliki keunikan yang menjadi model bagi dirinya sendiri. Karena itu masyarakat postmodern dibangun di atas pluralitas, heterogenitas, dan fragmentalisme. Masyarakat postmodernis bisa menerima berbagai macam realitas kehidupan yang berbeda sebagai suatu kemajemukan.

          C.  Paradigma Pendidikan Karakter
1.    Paradigma Fundamentalis
Paradigma fundamentalis dibangun oleh tradisi agama,baik didunia barat (Eropa) maupun timur islam dan cina. Paradigma ini berasalkan proses pendidikkan karakter pada kebenaran yang diwahyukan Tuhan. Karakter yang dibangun adalah karakter manusia teologis yang patuh dan taat kepada nilai-nilai kebaikan yang mutlak dalam tradisi keagamaan. Paradigma fundamentalis membimbing peserta sekolah kearah kepatuhan kepada Tuhan,melestarikan tradisi-tradisi yang bersumber dari wahyu Tuhan,sekaligus menciptakan genersi-generasibaru penyampai wahyu Tuhan.
2.    Paradigma Konservatif
Konservatisme pada dasarnya adalah posisi yang mendukung ketaatan terhadap lembaga-lembaga dan proses-proses budaya yang sudah teruji oleh waktu.Sikap konservatif tidak hanya didominasi oleh kalangan fundamentalis .Budaya modern dibangun diatas humanisme dan rasionalisme modern yang memposisikan manusia sebagai pusat realitas. Paradigma ini menekankan peran sentral pelatihan intelektual untuk mengembangkan bakat  kapasitas, dan potensi manusia, sebagai landasan pembangunan karakter yang tepat. Dalam pandangan modernis Barat,budaya modern ini dinilai sebagai budaya unggul dan dominan diantara kebudayaan-kebudayaan yang lain. Tugas guru, dalam pembelajaran konservatif, bertindak sebagai pembimbing. Tujuannya adalah agar nilai-nilai itu dapat digunakan oleh peserta didik dalam proses adaptasi dengan pola social dan tradisi modern. Keberhasilan pendidikan dalam paradigm ini diukur dari keberhasilan peserta didik dalam beradaptasi dengan lingkungan disekitarnya.
3.    Paradigma Kritis
Paradigma kritis dibangun diatas pandangan yang menganggap realitas sebagai sesuatu yang pluralistic.Paradigma kritis menilai bahwapola posisi dan tradisi yang dibangun diatas modernisme tidak bisa dijadikan sebagai ukuran universal bagi semua realitas.Paradigma konservatif membangun intelektual dalam rangka proses adaptasi terhadap nilai-nilai yang sudah mapan,sementara paradigm krisis mengarah pada peran aktif untuk ikut serta mengkritisi dominasi pola social dan tradisi modern menuju perubahan yang lebih adil.


BAB III
PENDIDIKAN KARAKTER DI INDONESIA

          A.  Problematika Pendidikan Karakter di Indonesia
1.    Religiusitas Formalitas
Pendidikan agama selama ini diposisikan sebagai aspek utama dalam membangun karakter pendidikan. Agama diyakini masih memiliki kekuatan untuk membangun kesadaran religius sehingga dapat mengembangkan sifat-sifat positif dalam diri seseorang.
2.    Kualitas SDM Rendah
Ukuran kualitas SDM mengacu pada indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia.Rendahnya kualitas SDM ditandai dengan rendahnya kualitas kesehatan jika dibandingkan dengan kesehatan masyarakat Negara-negara ASEAN lainnya, yang ditandai,antara lain,dengan masih tingginya angka  kematian ibu melahirkan.menjadi masalah besar dalam upaya membentuk generasi yang mandiri dan berkualitas.
3.    Nasionalisme Simbolik
Sistem pendidikan tanteng nasionalisme, tidak jarang digunakan untuk media indoktrinasi sebagai bentuk dukungan dan ketaatan terhadap penguasa, bukan kecintaan terhadap bangsa dan Negara.
4.    Reinvention karakter Bangsa
Bangsa Indonesia sebenarnya memiliki karakter kuat yang sudah terbentuk jauh sebelum bangsa ini terlahir menjadi Negara. Karakter orang-orang Indonesia yang cenderung moderat dapat menjadi pembentukan karakter bangsa. Itu sebabnya perjuangan bangsa indonesa melawan penjajahan tidak terlepas dari kekuatan tekad dan ikhtiar sebagai kumpulan manusia yang memiliki karakter pejuang. Karakter yang begitu kuat dan menkojdi ciri khas bangsa Indonesia itu, kini sudah menjadi masa lalu. Kuluhuran karakter bangsa dimasa lalu seolah menguap begitu saja. System pendidikan diharapkan mampu melahirkan karakter bangsa yang kuat, justru menghasilkan berbagai persoalan yang memperlemah karakter itu sendiri.


BAB IV
DELAPAN KARAKTER INDONESIA EMAS 2025

      A.  Indonesia Emas 2025
Konsep karakter bangsa Indonesia masih harus diturunkan oleh sekolah menjadi karakter yang lebih praktis. Penurunan karakter berkaitan erat dengan konteks situasi dan kondisi. Dalam konteks ini sekolah dapat menjadikan UU No.17 tahun2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional sebagai acuan situasi nasional. RPJP Nasional adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional yang merupakan jabaran dari tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam bentuk visi, misi, dan arah pembangunan nasional untuk masa 20 tahun ke depan yang mencakupi kurun waktu mulai dari tahun2005 hingga tahun 2025. Adapun visi pembangunan nasional tahun 2005-2025 adalah “Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur. Visi ini didasarkan pada kondisi bangsa Indonesia saat ini, tantangan 20 tahun mendatang, dan amanat pembangunan yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

     B.   Membangun Delapan Karakter Indonesia Emas 2025
1.    Etos Spiritual
Peranan nilai-nilai keagamaan untuk menumbuhkan etos spiritual terintegrasi dalam kajian ilmu-ilmu social. Pada bagian paling dasar semua agama, terdapat kesamaan ajaran dan pandangan hidup, yang menjadi sumber berbagai tingkah laku dan nilai-nilai yang sama bagi para pemeluknya. Nilai-nilai agama itu dapat tumbuh-berkembang menjadi etos masyarakat. 13 nilai keagamaan yang dijadikan sebagai etika religious masyarakat adalah :
Ø  Sederhana
Ø  Diam
Ø  Tertib
Ø  Ketegasan
Ø  Hemat
Ø  Kerja
Ø  Ikhlas
Ø  Adil
Ø  Sikap
Ø  Bersih
Ø  Tenang
Ø  Kehormatan
Ø  Rendah hati
Ada lima nilai utama dalam setiap agama yang bisa dikembangkan menjadi etika spiritual dalam kehidupan sehari-hari adalah :
a.    Percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa
b.   Tuhan menciptakan seluruh alam yang ada, termasuk manusia
c.   Manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab kepada-Nya
d.   Perbuatan yang paling berkenan bagi-Nya ialah berbuat baik kepada sesama
e.    Manusia akan merasakan akibat perbuatannya, baik dan buruk, dalam suatu kehidupan abadi “Hari Kemudian”.
Etika spiritual yang berhasil dibentuk akan menjadi pondasi dasar bagi pembentukan karakter-karakter yang lain. Sebab karakter-karakter yang lain pada dasarnya merupakan pengembangan karakter dasar yang lebih spesifik. Meskipun spesifik karena bersifat lokal dan temporer, karakter-karakter tetap harus dibangun berdasarkan kebutuhan jangka panjang.

2.    Etos Mutu
Sebagian masyarakat Indonesia memang sudah memasuki era informatika dan teknologi modern, seperti computer, teleks, facsimile, internet, antena parabola dll. Sekolah harus mampu menjembatani kesenjangan budaya seperti ini. Sekolah perlu meyiapkan kompetensi keilmuan bagi peserta didiknya dalam menjalani kehidupan di era informatika. Di samping itu sekolah juga perlu membangun kesiapan mental. Ini disebabkan karena perubahan merupakan suatu keistimewaan bagi masyakarat agraris. Sedangkan masyarakat industry melihat perubahan sebagai suatu rutinitas. Semetara masyarakat informasi, tingkat perubahan itu berjalan begitu cepat dengan magnitude yang lebih tinggi.

3.    Demokratis
Karakter demokratis adalah karakter yang dibangun diatas dasar nilai-nilai demokrasi. Nilai demokrasi antara lain adalah kebebasan berpendapat, berkelompok, berpartisipasi, menghormati orang atau kelompok lain, kesetaraan, kerjasama, persaingan dan kepercayaan. Demokrasi juga membuka banyak alternatif sehingga mereka memiliki kebebasan untuk berkelompok. Sekolah berkewajiban menanamkan nilai-nilai demokrasi itu dalam diri setiap peserta didik. Pendidikan karakter demokratis diharapkan dapat menghasilkan lulusan yang memiliki cara pandang yang luas dan terbuka untuk kemajuan bangsa dan Negara.

4.    Multikultural
Kesadaran ini juga mengandung makna kesediaan untuk berlaku adil dengan kelompok lain atas dasar perdamaian dan saling menghormati. Karakter multicultural ini telah menjadi pondasi kokoh bagi para founding fathers dalam mendirikan NKRI karena itu pengembangkan karakter multicultural menjadi unsure yang wajib dilakukan disekolah.

5.    Kecerdasan kritis
Pendidikan berkesadaran kritis bertugas melatih peserta didik agar mampu menidentifikasi ketidakadilan sistemik dan struktual tersebut, sekaligus menemukan cara mentrasformasikannya. Peran guru dalam pendidikan kritis sama dengan peran dalam pendidikan berbasis kesadaran naïf, yakni fasilitator dalam pembelajaran dengan demikian diharapkan muncul generasi masa depan yang lebih memiliki kepedulian dan kepekaan terhadap sistem dan struktur sosial, sehingga terbangun masyaraka yang lebih adil dan egaliter.

6.    Peduli Lingkungan
Sekolah seharusnya memainkan perannya dalam membentuk kesadaran terhadap lingkungan. Perlu ada pembentukan karakter kepeduliaan terhadap lingkungan pada diri siswa. Karakter ini bisa dimulai dari persoalan yang terlihat sepele, seperti penyediaan tempat sampah yang memadai. Melalui pembentukan karakter ini diharapkan lahir generasi yang memiliki kepedulian lingkungan.

7.    Berwawasan maritim
Pembentukan karakter maritim diharapkan mampu melahirkan generasi muda yang menyadari kekayaan potensi kelautan agar bisa mengekplorasi laut Indonesia sebagai kekuatan social dan ekonomi bangsa.

8.    Tanggung jawab global
Pembentukan karakter bangsa yang memiliki kepedulian terhadap dunia global menjadi cukup penting. Melalui karakter ini, generasi muda diharapkan mampu mengikuti perkembangan dunia global secara kritis sebaliknya yang diharapkan adalah generasi yang mampu memberikan solusi bagi masa depan dunia yang lebih adil dan damai


BAB V
EPILOG PENDIDIKAN BERKARAKTER MENUJU BANGSA MARTABAT

Pendidikan lebih berorientasi pada kecakapan akademik dan vokasional serta mengesampingkan pendidikan karakter bangsa. Meskipun dalam batas-batas tertentu dapat ditemukan praktik pendidikan, namun praktik itu mengarah pada pendidikan yang bersifat simbolik dan formalistic bahkan cederung politis. Disamping itu penyelenggara pendidikan juga terjebak pada orientasi lain yang keluar dari tujuan pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan yang menurut undang-undang ditunjukkan untuk mencerdaskan kehidupan rakyat bergeser kearah praktik yang kapitalis. Pendidikan perlu dikembalikan pada fungsi utamanya untuk membangun karakter bangsa.
Secara implementatif, pendidikan karakter dapat diterapkan secara formal melalui integrasi kurikulum berbasis karakter maupun dengan pendekatan system, yakni diciptakan budaya sekolah yang berkarakter. Bisa juga dirumuskan oleh guru melalui KTSP dengan menambah kolom karakter dalam penyusunan silabus maupun RPP. Sementara pendekatan system dapat dilakukan oleh sekolah dengan menyusun actionplan pendidikan karakter yang sistematis. Karena itu perubahan paradigma menjadi satu keniscayaan. Pendidikan karakter perlu dikemas dalam bingkai paradigma baru. Penyelengaraan pendidikan dapat menjadikan paradigma kritis sebagai pilihan paradigma baru. Paradigma kritis tidak hanya semata-mata mencetak generasi adiktif dengan situasi lingkungan yang dihadapi, baik social, ekonomi, politik, maupun budaya.
Paradigma ini mengajak peserta didik untuk ikut mengkritisi kondisi lingkungan disekitarnya menuju suatu struktur dan system social yang adil sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Untuk mampu mengkritisi struktur dan system social yang ada, diperlukan karakter yang kuat dalam diri peserta didik. Paradigma kritis mencoba memposisikan agama dalam bingkai teori kritis, yang bukan sekedar dibangun diatas nalar mitis, melainkan nalar rasional dan agama fungsional, bukan sekedar agama simbolik. Paradigma kritis juga berusaha menggeser kesadaran monistis dalam modernisme menuju kesadaran yang pluralistik. Paradigma kritis juga mempertemukan dua karakter ini pada titik agama yang rasional-fungsional dan kesadaran pluralistik.