Buku: Pendidikan Karakter
Penulis: Bagus Mustakim
PENDIDIKAN
KARAKTER
Membangun
Delapan Karakter Emas Menuju Indonesia Bermartabat
BAB I
PENDIDIKAN
KARAKTER ATAU PENDIDIKAN BERKARAKTER?
Booming istilah
pendidikan karakter juga merambah pada wilayah kegiatn seperti seminar,
pelatiha, ataupun workshop. Kegiatan ini diiringi dengan berkembangnya wacana
pengembangan kurikulum sekolah berbasis pendidikan karakter yang
diimplementasikan melalui kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Munculnya
pendidikan karakter sebagai wacana pendidikan nasional cenderung menegasikan
karakter bangsa. Maraknya perilaku anarkis, tawuran antarwarga, penyalahgunaan
narkoba, pergaulan bebas, korupsi, kriminalitas, kerusakan lingkungan dan
berbagai tindakan patologi social lainnya menunjukkan indikasi adanya masalah
akut dalam membangun karakter bangsa. Akan tetapi adanya kecenderungan
menganggap pendidikan karakter sebagai solusi bagi penyimpangan karakter bangsa
sepertinya agak berlebihan.
Pendidikan
nasional telah memuat vivi pendidikan karakter, sementara karakter yang terbentuk
justru bertentangan dengan tujuan pendidikan yang ingin diraih, berarti masalah
dalam praktik pendidikan nasional. Dengan demikian yang diperlukan adalah
revitalisasi pendidikan karakter di sekolah. Ragam pendidikan karakter dalam
sejarah sekolah, dapat digunakan untuk memetakan berbagai model pendidikan
karakter.
BAB II
TINJAUAN
HISTORIS PENDIDIKAN KARAKTER
A. Sejarah
Sekolah
1. Sekolah di
Era Klasik (Sebelum Masehi sampai Awal Masehi)
a. Sekolah-sekolah
pada awal sejarah cina
b. Sekolah-sekolah
di Yunani kuno
c. Sekolah-sekolah
pada komunitas Yahudi dan Kristen
2. Sekolah
Pada Abad Pertengahan (Awal Masehi sampai Abad ke-14 M)
a. Sekolah-sekolah
di Cina
b. Sekolah-sekolah
di Barat
c. Sekolah-sekolah
di dunia Islam
3. Sekolah
Pada Masa Renaisans Eropa (Abad ke-14 sampai Abad ke-18)
4. Sekolah
Modern (Abad ke-18 sampai Awal Abad ke-20)
5. Sekolah
Kontemporer (Abad ke-20 sampai Abad ke-21)
B. Sejarah
Pendidikan Karakter
1. Karakter Intelektual
Karakter
intelektual mulai tumbuh di era klasik. Di Yunani kuno karakter manusia
intelektual dikembangkan berdasarkan pendekatan filsafat yang ditandai dengan
muncul idealisme dan realisme. System filsafat idealisme mengajarkan bahwa
realitas tertinggi merupakan ide, dementara benda-benda riil hanyalah bayangan
dari ide. Alam ide telah mengetahui pengetahuan yang lengkap. Adapun system
filsafat realisme mengarajkan bahwa benda adalah riil. Konsep realisme tentang
realitas dipengaruhi oleh filsafat materialisme dan idealisme yang sudah
berkembang lebih dahulu.
2. Karakter
Teologis
Karakter
teologis lahir pada peradaban agama. Di Eropa peradaban agama ditandai dengan
dominasi kekuasaan gereja yang dogmatis dan doktriner. Semua pengetahuan
didasarkan wahyu. Wahyu adalah sumber kebenaran mutlak. Segala kebenaran diukur
dari kesesuaian antara pengetahuan yang dimiliki oleh manusia dengan informasi
yang diwahyukan dalam kitab suci. Karakter manusia yang diidealkan pada
peradaban abad pertengahan adalah manusia yang hidup nilai-nilai ketuhanan.
Nilai-nilai ini dirumuskan oleh para agamawan berdasarkan wahyu dari Tuhan yang
menjadi ukuran kualitas kemanusiaan. Manusia dinilai dari kepatuhan dan
ketaatan dari doktriner dan dogmatis agama.
3. Karakter
Humanis
Karakter
humanis muncul pada pertengahan abad ke-14 yang ditandai dengan tumbuhnya
gerakan keagamaan dan kemasyarakatan yang melahirkan era renaisans Eropa. Masa
renaisans Eropa ditandai dengan munculnya humanisme sebagai suatu gerakan
intelektual. Renaisans dan humanisme menghadirkan karakter manusia baru yang
pernah tumbuh dan berkembang di era klasik, yakni manusia intelektual. Penilaian
manusia tidak lagi diukkur dari kepatuhan terhadap doktrin agama melainkan dari
kemampuannya memahami realitas disekitar dirinya secara objektif dan ilmiah.
Manusia intelektual terlahir kembali menggantikan manusia agama. Pada masa berikunya
intelektualitas ini menjadi pondasi dasar masyarakat modern dan kontemporer.
4. Karakter
Modernis
Modernisme
memandang bahwa pengetahuan didasarkan pada fakta-fakta yang dapat dijadikan
objek. Fakta itu berupa gejala atau fenomena yang tunduk pda hokum alamiah yang
tetap. Narasi-narasi besar pada era modern berasal dari berbagai pandangan yang
berkembang pada masa itu. Setiap narasi ini membentuk karakter positif,
karakter kapitalis, karakter materialis, dan karakter komunis. Meskipun
demikian inti dari karakter yang terbentuk dalam modernism adalah manusia yang
memahami realitas secara rasional dan saintifik. Rasional artinya menjadikan
kekuatan rasio sebagai kekuatan tunggal yang menentukan. Sedangkan saintifik
berarti menggangap adanya suatu kebenaran esensial dan universal berdasarkan
metode ilmiah.
5. Karakter
Postmodernis
Menurut
postmodernisme, realitas bukan merupakan suatu kesatuan tunggal, melainkan
terbagi ke dalam fragmen-fragmen. Postmodernisme tidak melihat ada satu di
antara ragam perbedaan itu yang dapat dijadikan model untuk yang lain. Setiap
fragmen memiliki keunikan yang menjadi model bagi dirinya sendiri. Karena itu
masyarakat postmodern dibangun di atas pluralitas, heterogenitas, dan
fragmentalisme. Masyarakat postmodernis bisa menerima berbagai macam realitas kehidupan
yang berbeda sebagai suatu kemajemukan.
C. Paradigma
Pendidikan Karakter
1. Paradigma
Fundamentalis
Paradigma
fundamentalis dibangun oleh tradisi agama,baik didunia barat (Eropa) maupun
timur islam dan cina. Paradigma ini berasalkan proses pendidikkan karakter pada
kebenaran yang diwahyukan Tuhan. Karakter yang dibangun adalah karakter manusia
teologis yang patuh dan taat kepada nilai-nilai kebaikan yang mutlak dalam
tradisi keagamaan. Paradigma fundamentalis membimbing peserta sekolah kearah
kepatuhan kepada Tuhan,melestarikan tradisi-tradisi yang bersumber dari wahyu
Tuhan,sekaligus menciptakan genersi-generasibaru penyampai wahyu Tuhan.
2. Paradigma
Konservatif
Konservatisme
pada dasarnya adalah posisi yang mendukung ketaatan terhadap lembaga-lembaga
dan proses-proses budaya yang sudah teruji oleh waktu.Sikap konservatif tidak
hanya didominasi oleh kalangan fundamentalis .Budaya modern dibangun diatas
humanisme dan rasionalisme modern yang memposisikan manusia sebagai pusat
realitas. Paradigma ini menekankan peran sentral pelatihan intelektual untuk
mengembangkan bakat kapasitas, dan
potensi manusia, sebagai landasan pembangunan karakter yang tepat. Dalam
pandangan modernis Barat,budaya modern ini dinilai sebagai budaya unggul dan
dominan diantara kebudayaan-kebudayaan yang lain. Tugas guru, dalam
pembelajaran konservatif, bertindak sebagai pembimbing. Tujuannya adalah agar
nilai-nilai itu dapat digunakan oleh peserta didik dalam proses adaptasi dengan
pola social dan tradisi modern. Keberhasilan pendidikan dalam paradigm ini
diukur dari keberhasilan peserta didik dalam beradaptasi dengan lingkungan
disekitarnya.
3. Paradigma
Kritis
Paradigma
kritis dibangun diatas pandangan yang menganggap realitas sebagai sesuatu yang
pluralistic.Paradigma kritis menilai bahwapola posisi dan tradisi yang dibangun
diatas modernisme tidak bisa dijadikan sebagai ukuran universal bagi semua
realitas.Paradigma konservatif membangun intelektual dalam rangka proses
adaptasi terhadap nilai-nilai yang sudah mapan,sementara paradigm krisis
mengarah pada peran aktif untuk ikut serta mengkritisi dominasi pola social dan
tradisi modern menuju perubahan yang lebih adil.
BAB III
PENDIDIKAN KARAKTER DI INDONESIA
A. Problematika
Pendidikan Karakter di Indonesia
1. Religiusitas
Formalitas
Pendidikan
agama selama ini diposisikan sebagai aspek utama dalam membangun karakter
pendidikan. Agama diyakini masih memiliki kekuatan untuk membangun kesadaran
religius sehingga dapat mengembangkan sifat-sifat positif dalam diri seseorang.
2. Kualitas
SDM Rendah
Ukuran
kualitas SDM mengacu pada indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia.Rendahnya
kualitas SDM ditandai dengan rendahnya kualitas kesehatan jika dibandingkan dengan
kesehatan masyarakat Negara-negara ASEAN lainnya, yang ditandai,antara
lain,dengan masih tingginya angka
kematian ibu melahirkan.menjadi masalah besar dalam upaya membentuk
generasi yang mandiri dan berkualitas.
3. Nasionalisme
Simbolik
Sistem
pendidikan tanteng nasionalisme, tidak jarang digunakan untuk media
indoktrinasi sebagai bentuk dukungan dan ketaatan terhadap penguasa, bukan
kecintaan terhadap bangsa dan Negara.
4. Reinvention
karakter Bangsa
Bangsa
Indonesia sebenarnya memiliki karakter kuat yang sudah terbentuk jauh sebelum
bangsa ini terlahir menjadi Negara. Karakter orang-orang Indonesia yang
cenderung moderat dapat menjadi pembentukan karakter bangsa. Itu sebabnya
perjuangan bangsa indonesa melawan penjajahan tidak terlepas dari kekuatan
tekad dan ikhtiar sebagai kumpulan manusia yang memiliki karakter pejuang.
Karakter yang begitu kuat dan menkojdi ciri khas bangsa Indonesia itu, kini
sudah menjadi masa lalu. Kuluhuran karakter bangsa dimasa lalu seolah menguap
begitu saja. System pendidikan diharapkan mampu melahirkan karakter bangsa yang
kuat, justru menghasilkan berbagai persoalan yang memperlemah karakter itu
sendiri.
BAB IV
DELAPAN KARAKTER INDONESIA
EMAS 2025
A. Indonesia
Emas 2025
Konsep karakter bangsa Indonesia masih harus diturunkan oleh sekolah
menjadi karakter yang lebih praktis. Penurunan karakter berkaitan erat dengan
konteks situasi dan kondisi. Dalam konteks ini sekolah dapat menjadikan UU
No.17 tahun2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional
sebagai acuan situasi nasional. RPJP Nasional adalah dokumen perencanaan
pembangunan nasional yang merupakan jabaran dari tujuan dibentuknya
Pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam bentuk visi, misi, dan arah
pembangunan nasional untuk masa 20 tahun ke depan yang mencakupi kurun waktu
mulai dari tahun2005 hingga tahun 2025. Adapun visi pembangunan nasional tahun
2005-2025 adalah “Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur. Visi ini
didasarkan pada kondisi bangsa Indonesia saat ini, tantangan 20 tahun
mendatang, dan amanat pembangunan yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
B. Membangun
Delapan Karakter Indonesia Emas 2025
1. Etos
Spiritual
Peranan nilai-nilai
keagamaan untuk menumbuhkan etos spiritual terintegrasi dalam kajian ilmu-ilmu
social. Pada bagian paling dasar semua agama, terdapat kesamaan ajaran dan
pandangan hidup, yang menjadi sumber berbagai tingkah laku dan nilai-nilai yang
sama bagi para pemeluknya. Nilai-nilai agama itu dapat tumbuh-berkembang
menjadi etos masyarakat. 13 nilai keagamaan yang dijadikan sebagai etika
religious masyarakat adalah :
Ø Sederhana
Ø Diam
Ø Tertib
Ø Ketegasan
Ø Hemat
Ø Kerja
Ø Ikhlas
Ø Adil
Ø Sikap
Ø Bersih
Ø Tenang
Ø Kehormatan
Ø Rendah hati
Ada
lima nilai utama dalam setiap agama yang bisa dikembangkan menjadi etika
spiritual dalam kehidupan sehari-hari adalah :
a. Percaya
kepada Tuhan Yang Maha Esa
b. Tuhan
menciptakan seluruh alam yang ada, termasuk manusia
c. Manusia
adalah makhluk yang bertanggung jawab kepada-Nya
d. Perbuatan
yang paling berkenan bagi-Nya ialah berbuat baik kepada sesama
e. Manusia
akan merasakan akibat perbuatannya, baik dan buruk, dalam suatu kehidupan abadi
“Hari Kemudian”.
Etika
spiritual yang berhasil dibentuk akan menjadi pondasi dasar bagi pembentukan
karakter-karakter yang lain. Sebab karakter-karakter yang lain pada dasarnya
merupakan pengembangan karakter dasar yang lebih spesifik. Meskipun spesifik
karena bersifat lokal dan temporer, karakter-karakter tetap harus dibangun
berdasarkan kebutuhan jangka panjang.
2. Etos Mutu
Sebagian
masyarakat Indonesia memang sudah memasuki era informatika dan teknologi
modern, seperti computer, teleks, facsimile, internet, antena parabola dll.
Sekolah harus mampu menjembatani kesenjangan budaya seperti ini. Sekolah perlu
meyiapkan kompetensi keilmuan bagi peserta didiknya dalam menjalani kehidupan
di era informatika. Di samping itu sekolah juga perlu membangun kesiapan
mental. Ini disebabkan karena perubahan merupakan suatu keistimewaan bagi
masyakarat agraris. Sedangkan masyarakat industry melihat perubahan sebagai
suatu rutinitas. Semetara masyarakat informasi, tingkat perubahan itu berjalan
begitu cepat dengan magnitude yang lebih tinggi.
3. Demokratis
Karakter
demokratis adalah karakter yang dibangun diatas dasar nilai-nilai demokrasi.
Nilai demokrasi antara lain adalah kebebasan berpendapat, berkelompok,
berpartisipasi, menghormati orang atau kelompok lain, kesetaraan, kerjasama,
persaingan dan kepercayaan. Demokrasi juga membuka banyak alternatif sehingga
mereka memiliki kebebasan untuk berkelompok. Sekolah berkewajiban menanamkan
nilai-nilai demokrasi itu dalam diri setiap peserta didik. Pendidikan karakter
demokratis diharapkan dapat menghasilkan lulusan yang memiliki cara pandang yang
luas dan terbuka untuk kemajuan bangsa dan Negara.
4. Multikultural
Kesadaran
ini juga mengandung makna kesediaan untuk berlaku adil dengan kelompok lain
atas dasar perdamaian dan saling menghormati. Karakter multicultural ini telah
menjadi pondasi kokoh bagi para founding fathers dalam mendirikan NKRI karena
itu pengembangkan karakter multicultural menjadi unsure yang wajib dilakukan
disekolah.
5. Kecerdasan
kritis
Pendidikan berkesadaran kritis
bertugas melatih peserta didik agar mampu menidentifikasi ketidakadilan
sistemik dan struktual tersebut, sekaligus menemukan cara mentrasformasikannya.
Peran guru dalam pendidikan kritis sama dengan peran dalam pendidikan berbasis
kesadaran naïf, yakni fasilitator dalam pembelajaran dengan demikian diharapkan
muncul generasi masa depan yang lebih memiliki kepedulian dan kepekaan terhadap
sistem dan struktur sosial, sehingga terbangun masyaraka yang lebih adil dan
egaliter.
6. Peduli
Lingkungan
Sekolah
seharusnya memainkan perannya dalam membentuk kesadaran terhadap lingkungan.
Perlu ada pembentukan karakter kepeduliaan terhadap lingkungan pada diri siswa.
Karakter ini bisa dimulai dari persoalan yang terlihat sepele, seperti
penyediaan tempat sampah yang memadai. Melalui pembentukan karakter ini
diharapkan lahir generasi yang memiliki kepedulian lingkungan.
7. Berwawasan
maritim
Pembentukan
karakter maritim diharapkan mampu melahirkan generasi muda yang menyadari
kekayaan potensi kelautan agar bisa mengekplorasi laut Indonesia sebagai
kekuatan social dan ekonomi bangsa.
8. Tanggung jawab
global
Pembentukan
karakter bangsa yang memiliki kepedulian terhadap dunia global menjadi cukup
penting. Melalui karakter ini, generasi muda diharapkan mampu mengikuti
perkembangan dunia global secara kritis sebaliknya yang diharapkan adalah
generasi yang mampu memberikan solusi bagi masa depan dunia yang lebih adil dan
damai
BAB V
EPILOG PENDIDIKAN
BERKARAKTER MENUJU BANGSA MARTABAT
Pendidikan
lebih berorientasi pada kecakapan akademik dan vokasional serta mengesampingkan
pendidikan karakter bangsa. Meskipun dalam batas-batas tertentu dapat ditemukan
praktik pendidikan, namun praktik itu mengarah pada pendidikan yang bersifat
simbolik dan formalistic bahkan cederung politis. Disamping itu penyelenggara
pendidikan juga terjebak pada orientasi lain yang keluar dari tujuan
pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan yang menurut undang-undang ditunjukkan
untuk mencerdaskan kehidupan rakyat bergeser kearah praktik yang kapitalis.
Pendidikan perlu dikembalikan pada fungsi utamanya untuk membangun karakter bangsa.
Secara
implementatif, pendidikan karakter dapat diterapkan secara formal melalui
integrasi kurikulum berbasis karakter maupun dengan pendekatan system, yakni
diciptakan budaya sekolah yang berkarakter. Bisa juga dirumuskan oleh guru
melalui KTSP dengan menambah kolom karakter dalam penyusunan silabus maupun
RPP. Sementara pendekatan system dapat dilakukan oleh sekolah dengan menyusun
actionplan pendidikan karakter yang sistematis. Karena itu perubahan paradigma
menjadi satu keniscayaan. Pendidikan karakter perlu dikemas dalam bingkai
paradigma baru. Penyelengaraan pendidikan dapat menjadikan paradigma kritis
sebagai pilihan paradigma baru. Paradigma kritis tidak hanya semata-mata
mencetak generasi adiktif dengan situasi lingkungan yang dihadapi, baik social,
ekonomi, politik, maupun budaya.
Paradigma
ini mengajak peserta didik untuk ikut mengkritisi kondisi lingkungan
disekitarnya menuju suatu struktur dan system social yang adil sesuai dengan
nilai-nilai kemanusiaan. Untuk mampu mengkritisi struktur dan system social
yang ada, diperlukan karakter yang kuat dalam diri peserta didik. Paradigma
kritis mencoba memposisikan agama dalam bingkai teori kritis, yang bukan
sekedar dibangun diatas nalar mitis, melainkan nalar rasional dan agama
fungsional, bukan sekedar agama simbolik. Paradigma kritis juga berusaha
menggeser kesadaran monistis dalam modernisme menuju kesadaran yang
pluralistik. Paradigma kritis juga mempertemukan dua karakter ini pada titik
agama yang rasional-fungsional dan kesadaran pluralistik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar